This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

[Diskusi] Keadilan Intelektual

Beberapa waktu lalu, aku membaca surat menyurat Romo Magnis Suseno dgn Alm Nurcholish Madjid, inti suratnya adlh keberatan Romo Magnis terhadap salah satu isi kajian ilmiah Cak Nur yg disampaikan di UI, di depan para akademisi. Saat itu sebenarnya Romo Magnis tak hadir, tapi isi kajian Cak Nur yg disebarluaskan kemana-mana cukup menyinggung hati sang Romo karena menyangkut tentang keimaman orang Katolik dan Kristiani tentang sosok Yesus Kristus. Akhirnya Romo Magnis menyurati Cak Nur dan menyatakan ketersinggungannya, surat tersebut jg di teruskan ke beberapa pihak sentral di pemerintahan. Surat Romo Magnis yg serius itu, dijawab dgn serius jg oleh Cak Nur disertai dgn argumen2 ilmiah yg sangat baik dan akhirnya menghasilkan dialog ilmiah yg berbobot. Surat menyurat keduanya menjadi sebuah warisan intelektual yg sangat berharga tentang bagaimana dua orang intelektual menyelesaikan perbedaan pendapat karena keyakinannya terhadap sebuah gagasan. Karena hubungan keduanya secara pribadi tak pernah terganggu karena adanya surat tersebut. Segala pertentangan kedua benar-benar diselesaikan ala akademisi.
Jadi ingat, dulu, hubunganku dgn seorang teman menjadi sangat terganggu hanya karena debat kita di facebook dan di warung kopi tentang politik Iran dan Turki. Tentu saja, aku ngotot meluruskan pendapat dia yg menurutku salah tentang politik Iran yg saat itu dibandingkan dgn politik pragmatis ala Turki. Masing-masing kita, tentu saja merasa benar. Dia yg merasa lebih otoritatif karena merupakan mahasiswa Hubungan Internasional. Dan aku jg merasa otoritatif karena aku merasa telah menguasai epistomologi islam serta sejarah politik mendetail Revolusi Iran dibalik terbentuknya sistem wilayatul faqih yg menjadi perdebatan kita berdua.
Sayangnya, debat yg panjang itu tak menghasilkan kesimpulan apa-apa dlm diskusi kita kecuali perang sinisme satu sama lain. Sekarang hubungan kita berdua menjadi baik kembali. Bukan karena perdebatan sudah selesai. Kita hanya memilih untk berhenti berdebat lagi. Tidak ada kebenaran yg tercipta. Kita sedang melakukan toleransi alias pembiaran terhadap ide masing-masing. Tentu saja, toleransi itu beda dgn respect. Toleransi cenderung melakukan pembiaran (ignoring), respect adlh sikap saling menghormati paham masing-masing karena satu sama lain memiliki standing point tersendiri.

Belajar dari dua kasus beda generasi dan strata intelektual diatas, aku memikirkan banyak hal tentang keadilan intelektual masa kini. Di Era informasi yg sangat padat ini, orang-orang bisa menghakimi ide orang lainnya hanya lewat status facebook dan twitter. Padahal yg dihakimi itu sudah susah-susah menulis sebuah artikel panjang di media / sudah menulis buku. Bahkan, sebuah buku bisa jadi hanya dikutip-kutip seketip lewat facebook dan twitter saja sudah membuat orang lain yg sangat awam bisa terpengaruh ikut membenci si penulis buku tanpa pernah benar-benar membaca bukunya. Sehingga, orang yg tak membaca ide-ide yg dihakimi secara utuh menjadi berbuat tak adil dgn ikut menghakimi sesuatu yg tak Ia ketahui ide sepenuhnya.
Kenapa seseorang sangat mudah terpengaruh dgn ide orang lain dlm sosial media? Karena tak adanya budaya membaca buku yg kuat turut membentuk pikiran seseorang menjadi tak sistematis. Berfikir sistematis melatih kita untk memiliki pisau analisa dan memiliki standing point yg kuat tentang apa yg kita yakini. Untuk itu, secanggih apapun para ahli mengatakan tentang keunggulan media sosial, tempat ni hanyalah berupa potongan ide, bukan ide utuh dari seseorang. Jangan sampai kita meyakini sebuah kebenaran hanya lewat potongan ide yg tercecer dimana-mana tanpa bukti yg kuat. Ada banyak Hoax di internet kan? Belum lagi, ada banyak propaganda dari media mainstream yg membuat kita merasa perlu lebih mempertajam akal kita daripada sekedar melihat apa adanya apa yg kita baca.

Maka, jika tak setuju dgn isi sebuah artikel, balaslah artikel tersebut dgn artikel tandingan beserta argumen ilmiahnya, bukan sentimen penuh kalimat sinis yg tak menjunjung nilai-nilai akademis di sosial media. Jika tak setuju dgn sebuah isi buku, maka tulislah sebuah buku tandingan jg yg mematahkan argumen-argumen pamungkas di buku yg kita debat. Buktikan bahwa kita telah mengkritik sebuah ide dgn cara-cara yg bermartabat.

Adillah secara intelektual, akan ada banyak orang yg akan menghormati kita karena tradisi ilmiah kita. Karena sifat adil adlh salah satu sifat untk menjadi layak untk dicintai.

source : http://hipwee.com, http://instagram.com, http://syaharbanu.blogspot.com

0 Response to "[Diskusi] Keadilan Intelektual"

Posting Komentar

Contact

Nama

Email *

Pesan *